26 Desember 2024 menandai 20 tahun bencana kemanusiaan dahsyat yang mengguncang dan menyatukan dunia. Hari itu, dua puluh tahun lalu, sebuah gempa bumi 9,3 SR mengguncang Samudra Hindia, dengan pusat gempa sekitar 157 km Barat Meulaboh dengan kedalaman 30 km yang menciptakan gelombang tsunami yang sangat besar yang menghantam pesisir di negara Indonesia, Sri Langka, Thailand, India, Somalia, Maladewa dan lainnya.
Innalillahi wainna ilaihi rojiu’n: diperkirakan 230.000 orang tewas di 14 negara dengan tingkat kerusakan rumah, infrastruktur, dan mata pencaharian tidak seperti yang pernah ada sebelumnya.
Bencana ini mengubah kehidupan para penyintas dan sekaligus memperbaiki tata cara organisasi-organisasi kemanusiaan dunia dalam merespon keadaan darurat dengan skala besar. Di sini, kami bermaksud mengenang kisah kelam di bulan Desember itu dan berbagi kisah terkait peran Islamic Relief dalam mendukung individu, keluarga, dan masyarakat di provinsi Aceh-Indonesia dan di Sri Langka, yang merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak bencana tersebut.
Di banyak negara, hari minggu sering kali menjadi waktu untuk bersantai dan mempersiapkan diri untuk menghadapi pekan depan. Di Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh, anak-anak bermalas-malasan di tempat tidur atau membaca Al Qur’an setelah shalat, sementara ibu dan nenek mereka pergi ke pasar. Anak-anak lelaki muda berkemas untuk berwisata ke pantai, sementara beberapa orang yang datang lebih awal sudah menikmati berenang di Samudera Hindia – yang terasa hangat di akhir bulan Desember.
Hari itu adalah hari Minggu seperti hari Minggu pada umumnya, sampai akhirnya cerita berkata lain.
Sebelum pukul 8 pagi waktu setempat, gempa berkekuatan 9,3 skala Richter mengguncang lepas pantai Aceh, menyebabkan tanah berguncang hebat selama hampir 10 menit. Kekuatan gempa tersebut mengejutkan dan membuat orang-orang di wilayah tersebut dan sekitarnya ketakutan, namun hanya sedikit yang mampu membayangkan bahaya berikutnya yang akan menerjang mereka.
Banda Aceh tampak seperti baru saja dihantam senjata nuklir. Semua bangunan hancur,bahkan pohon-pohon pun tercabut dari tanah oleh air
Gempa susulan terus menerus mengguncang beberapa kali. Kepanikan terasa di sana-sini. Namun, bagi mereka yang sedang berenang di pinggir laut, para nelayan dan orang-orang yang berada di pesisir pantai, ada pertanyaan yang menggelayut selepas gempa besar itu, – Mengapa air laut menghilang?
Ketika air laut menghilang dari pantai, anak-anak dan para nelayan berlarian membawa ember dan jaring untuk mengumpulkan ikan yang tiba-tiba terdampar karena air surut. Sementara itu, di perkotaan dan di perdesaan, orang-orang mulai saling memeriksa keadaan satu sama lain setelah gempa sedikit mereda. Namun, dalam waktu kurang dari setengah jam, kehidupan semua orang di Aceh berubah selamanya.
Saya pikir hari itu adalah akhir dunia.
“Saya sedang bersiap-siap dan memasak di pagi hari ketika gempa terjadi. Setelah gempa berhenti, saya keluar rumah bersama suami dan anak saya yang masih bayi. Orang-orang mengatakan bahwa air laut sedang naik dan datang ke daratan. Kami berlari ke arah gunung, tetapi sebelum sampai di sana, ombak menggulung kami”.
“Setelah itu, anak saya yang masih bayi menghilang, dan saya dan suami terpisah selama 10 hari. Saya yakin suami saya masih hidup karena saya melihatnya memanjat pohon kelapa, tetapi suami saya tidak tahu apakah saya masih hidup karena saya terbawa ombak”.
“Saya pikir hari itu adalah hari kiamat. Anak saya hilang, suami saya hilang. Saya hanya mengenakan pakaian dalam karena air telah menarik pakaian dari tubuh saya”.
“Akhirnya, seseorang memberi tahu saya bahwa suami saya ada di gunung, dan saya bertemu dengannya di sana. Kami tidak punya apa-apa untuk dimakan, kami hanya minum air kelapa dan makan jambu atau apa pun yang kami temukan.”
Yusinar adalah seorang penjahit dan penyintas tsunami yang mengajarkan anak-anak perempuan cara membuat pakaian. Setelah bencana, Islamic Relief memberinya 3 mesin jahit agar ia dapat memulai kembali usahanya. Belakangan, Yusinar menjadi pelatih dalam program Islamic Relief untuk membantu meningkatkan mata pencaharian para penyintas dengan mengajarkan keterampilan menjahit.
Di pantai, air yang surut kembali dengan kekuatan yang menakutkan sebagai gelombang hitam yang menjulang tinggi, menarik orang-orang dan perahu ke dalam air yang berputar-putar dan melemparkannya kembali ke atas dalam pusaran yang terus menerus.
Para saksi mata melompat ke atas skuter dan sepeda motor, putus asa untuk melarikan diri dari arus deras yang datang, dan memperingatkan orang lain yang berada lebih jauh ke daratan.
Namun, sebagian besar peringatan mereka sia-sia. Mereka yang telah melihat gelombang tersebut berteriak, “Laut datang ke daratan! Air laut datang ke daratan!”, mereka disambut dengan kebingungan dan keheranan… Bagaimana mungkin laut akan datang ke daratan?
Mungkin sulit untuk membayangkannya sekarang, tetapi pada tahun 2004, tsunami tidak banyak diketahui di luar kalangan ilmiah atau Masyarakat Jepang, yang telah mengalami kejadian tsunami beberapa kali sepanjang sejarahnya. Bagi banyak orang di seluruh dunia, pengetahuan pertama mereka dengan kata ‘tsunami’ ini adalah ketika mendengar tentang bencana di Aceh ini.
Ini berarti bahwa sebagian besar orang di Aceh tidak tahu apa itu tsunami atau bagaimana cara melindungi diri mereka sendiri ketika tsunami mulai menerjang wilayah mereka.
Truk kami mengapung dan menjadi seperti perahu.
“Saya dan teman-teman saya berencana untuk pergi ke pantai pada hari terjadinya bencana. Kami sedang menuju ke sana ketika gempa bumi terjadi, kemudian, mungkin 30 menit kemudian, jalan raya menjadi sangat ramai, dan kami meminta teman kami untuk memeriksa apa yang terjadi.
“Dia kembali dan memberi tahu kami bahwa orang-orang berlarian dari pantai, mengatakan bahwa air datang dari laut. Kami tidak tahu apa maksudnya, jadi kami mengabaikannya. Kami berada sekitar 7 km dari Pantai saat itu.
“Sekitar 5-10 menit kemudian, kami melihat ombak yang sangat besar. Pada awalnya, kami bahkan tidak menyadari bahwa itu adalah ombak karena warnanya sangat hitam dan ada banyak barang di dalamnya. Akhirnya, kami menyadari bahwa itu adalah ombak, dan kami mencoba berlari. Beberapa teman saya berlari dan beberapa lainnya mencoba naik sepeda motor.
“Kemudian, kami melihat sebuah truk polisi dan saya dan teman-teman saya mencoba menaikinya. Jalan raya sudah macet, dan air sudah mendekati kami dari depan dan belakang truk, tapi alhamdulillah, truk itu mengapung dan menjadi seperti perahu.
“Beberapa detik kemudian, kami melewati sebuah rumah dan melompat ke atapnya untuk menunggu air surut.”
Candra Kirana adalah seorang penyintas tsunami yang juga menjabat sebagai Wakil CEO dan Kepala Operasional Yayasan Relief Islami Indonesia.
Gelombang pertama diikuti oleh gelombang lainnya dan jika digabungkan, gelombang tersebut menyapu seluruh desa dari peta, mencabut pepohonan dari tanah dengan akarnya dan mengumpulkan puing-puing yang menimbulkan bahaya tambahan bagi siapa saja yang tersedot ke dalam air. Ombak bergerak dengan kecepatan 500 mil per jam, tidak menyisakan kesempatan untuk melarikan diri.
Beberapa ‘dentuman’ besar terdengar saat ombak menerjang daratan, tetapi Aceh waktu itu sedang mengalami konflik aktif selama hampir 30 tahun, sehingga penduduk mengira bahwa dentuman itu adalah suara yang berasal dari pengeboman.
“Ingatan terkuat saya saat itu adalah, 'Apakah ini kiamat? Apakah kiamat benar-benar telah datang?”
Ketika gelombang tiba di kota Banda Aceh, air mencapai lantai dua rumah-rumah dan merendam seluruh bangunan yang dibangun hanya dengan satu lantai. Warga bergegas naik ke atap rumah dan ke atas pohon untuk menyelamatkan diri. Ketika mereka melihat rumah-rumah mereka yang hancur, banyak yang bertanya-tanya apakah mereka sedang menyaksikan kiamat.
Mereka yang tidak dapat mencapai tempat yang lebih tinggi menggambarkan bahwa mereka tersedot ke dalam gelombang dan terlempar seolah-olah berada di dalam mesin cuci. Banyak yang tenggelam atau tewas setelah bertabrakan dengan puing-puing di dalam gelombang. Yang lainnya meninggal kemudian, karena tidak dapat membersihkan air kotor dari paru-paru mereka.
Hampir sepertiga penduduk Banda Aceh meninggal dalam bencana tersebut. Namun, sebagian lainnya berhasil selamat dengan meraih puing-puing besar atau ditarik keluar dari air oleh orang-orang yang selamat, terkadang beberapa kilometer jauhnya dari tempat di mana gelombang itu membawa mereka.
Saat mengumpulkan puing-puing, gelombang tersebut berubah menjadi lumpur yang bergerak cepat yang membawa pohon, mobil dan sepeda motor melalui jalan-jalan di ibukota Aceh itu. Rekaman saksi mata pada saat itu menunjukkan orang-orang berlarian menyelamatkan diri dari banjir, sementara sebuah bus kecil mencoba melaju melintasi jalur air bah.
Kami tidak tahu, jadi kami tidak lari.
“Tidak ada satu pun rumah yang tersisa di desa kami, semuanya hancur. Keluarga saya terdiridari 8 orang, sekarang hanya tinggal 2 orang.
“Kami tidak tahu bahwa jika terjadi gempa sebesar itu, bisa ada tsunami, jadi kami tidak lari setelah gempa. Gelombang datang tiba-tiba, dan kami tidak bisa menyelamatkan diri.
“Semua orang masuk ke mobil mereka untuk mencoba melarikan diri, sehingga jalanan macet, tetapi gelombang terus bergerak. Beberapa orang meninggal di dalam mobil; yang lain terseret keluar. Bahkan motor pun terseret oleh air.
“Gelombang tsunami tidak seperti gelombang biasa, itu seperti air dalam blender. Semua rumah hancur total, mobil-mobil terjepit. Tsunami sangat kuat, tidak ada yang bisa melawannya. Bahkan orang yang pandai berenang pun meninggal dalam tsunami.”
Nazarudin adalah penyintas tsunami, seorang imam, dan mantan pegawai negeri di DesaKaju Indah, Aceh. Ia adalah salah satu dari banyak orang di desa tersebut yang rumahnyadibangun kembali oleh Islamic Relief setelah bencana.
Orang-orang yang telah menemukan tempat aman di atap-atap rumah, atau di bukit-bukit di wilayah pedesaan, tetap tinggal di sana selama berjam-jam dan bahkan berhari-hari hingga ketinggian air turun dan bantuan mulai berdatangan.
Ada banyak militer dan polisi yang hadir di Aceh semasa konflik, karenanya selain masyarakat Aceh, banyak dari mereka yang tewas dalam bencana tsunami ini, sementara truk dan helikopter mereka hancur oleh kekuatan air.
Konflik telah membuat Aceh terisolasi dari wilayah lain di Indonesia, dan juga dari dunia, dengan pembatasan ketat terhadap siapa saja yang dapat melakukan perjalanan keluar-masuk wilayah tersebut, yang berarti bahwa lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional juga tidak banyak atau mungkin bahkan tidak ada sama sekali.
Pada hari-hari pertama setelah bencana, banyak orang yang selamat yang dapat melakukan perjalanan ke Medan, salah satu kota besar di Indonesia, yang menjadi tempat penampungan para penyintas, sementara rumah sakit-rumah sakit sibuk melayani masuknya orang-orang yang terluka dan ini menyebabkan persediaan obat-obatan cepat menipis.
Yang masih berada di Aceh berseliweran di jalan-jalan kota yang sudah tidak dapat dikenali lagi, mereka mencari tempat di mana rumah mereka berada sebelumnya sambil berharap keluarga mereka masih hidup yang terus menerus mereka cari.
Saya digulung oleh gelombang, seperti di dalam mesin cuci.
“Rumah kami berjarak 5-7 kilometer dari pantai, tetapi istri saya bisa melihat ombak di kejauhan, dan ombak itu sangat, sangat tinggi.
“Saya menggendong anak saya dan kami pergi ke lantai dua rumah kami yang memiliki balkon. Saya hendak melihat-lihat situasi dan berjaga-jaga, tetapi rumah saya tiba-tiba dikelilingi air. Rumah saya runtuh dan keluarga saya tercerai-berai.”
“Yang saya ingat saat itu saya seperti digulung ombak, seperti berada di dalam mesin cuci. Saya dibalikkan dengan kepala ke belakang, seperti jungkir balik, dan terkadang saya menyentuh tanah dan terkadang terlempar ke atas. Rasanya seperti dibolak-balik.”
“Pada saat itu, saya melihat begitu banyak hal yang terjadi – anak kecil yang tersesat, anak kecil yang masuk ke dalam pusaran air. Mengapa saya bisa selamat? Saya selamat karena saya mencoba berpegangan pada sebuah sofa yang kebetulan lewat di dekat saya. Saya segera meraihnya, dan itulah caranya Allah membuat saya selamat. Sofa itu berhenti di sebuah pohon kelapa, dan saya pikir jika saya tidak berpegangan pada pohon itu, saya akan terbawa arus ke laut.”
Budi Permana adalah seorang penyintas tsunami dan staff logistik di kantor Islamic Relief Indonesia di Aceh.
Skala bencana yang terjadi di Aceh terlalu besar untuk segera dipahami. Namun, dalam beberapa jam dan beberapa hari setelah tsunami melanda, para ilmuwan dan jurnalis menyampaikan informasi terkait dampaknya yang mengerikan kepada khalayak di seluruh dunia.
Hampir sepertiga penduduk Banda Aceh meninggal dunia, dengan jumlah yang sama kehilangan tempat tinggal, dan sekitar 800.000 orang di seluruh wilayah kehilangan mata pencaharian. Kerusakan diperkirakan mencapai sekitar USD $1,2 miliar.
Peralatan yang ada pada saat itu mencatat gempa berkekuatan 9,1, 9,2, dan 9,3 SR – sangat besar menurut standar apa pun dan hampir menyamai gempa bumi terkuat yang pernah tercatat, yang melanda kota Valdivia, Chili, pada tahun 1960.
Gempa ini melepaskan energi yang setara dengan 23.000 bom atom jenis Hiroshima, menyebabkan dasar laut naik hingga 40 meter di beberapa tempat dan menggeser poros bumi satu inci. Gempa bumi yang kuat mengguncang tanah dengan keras, menggoyahkan dan meruntuhkan bangunan, serta menciptakan kondisi yang dapat memicu tsunami.
Pada tahun 2004, kekuatan gelombang yang dahsyat menciptakan tsunami dengan keganasan yang sama. Pada puncaknya, ombak yang menghantam Aceh mencapai ketinggian 51 meter. Ini kira-kira setara dengan bangunan 5 lantai – yang tidak ada di Aceh saat itu- atau setara dengan 32 orang dewasa Indonesia dengan tinggi rata-rata berdiri di atas bahu satu sama lain.
Gelombang tsunami ini meluluhlantakkan apa saja yang dilewatinya, bukan hanya karena ketinggiannya, tetapi juga karena kecepatannya. Pada saat paling cepat, gelombang tsunami bergerak secepat 500 mil per jam – hanya 50 mil per jam di bawah kecepatan rata-rata pesawat komersial yang sedang terbang.
Kematian dan kehancuran yang disebabkan oleh bencana ini meluas hingga ke luar Aceh dan Indonesia, dengan 14 negara yang mencatat korban jiwa dan lebih banyak lagi yang mengalami kerusakan.
Negara-negara yang terkena dampak paling parah adalah negara-negara Asia Selatan yang mengelilingi Samudera Hindia, termasuk Indonesia, Sri Lanka, Maladewa, Myanmar, India, Bangladesh, Thailand, dan Malaysia. Di antara negara-negara tersebut, Islamic Relief merespons di tiga negara yang paling parah terkena dampaknya: Indonesia, Sri Lanka dan India.
Beberapa negara lain yang berada jauh dari pusat gempa, dan di mana Islamic Relief bekerja saat ini, juga terkena dampaknya. Negara-negara tersebut antara lain Somalia, Kenya, Afrika Selatan, dan Yaman.
Salah satu hal yang membuat bencana pada tahun 2004 ini -dan respon kemanusiaan yang diberikan setelahnya- menjadi begitu mendunia adalah fakta bahwa sejumlah besar wisatawan mancanegara berada di daerah tersebut pada saat itu dan juga terkena dampaknya. Lebih dari 2.000 orang Eropa tewas dalam bencana tersebut, yang terjadi hanya satu hari setelah Natal ketika banyak keluarga yang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk merayakannya.
Ketika para ahli meteorologi dan geofisika di seluruh dunia mencatat gempa bumi yang sangat besar itu, dan berita mulai mengalir dari negara-negara yang terkena dampaknya, organisasi-organisasi kemanusiaan bergegas meluncur melaksanakan aksi tanggap bencana.
Islamic Relief mulai bekerja di Indonesia pada tahun 2000 dengan kegiatan sederhana seperti distribusi makanan Ramadhan dan kurban serta menyediakan perlengkapan sekolah untuk anak-anak.
Seperti NGO lainnya, kami tidak memiliki kantor atau perwakilan di Aceh sebelum bencana terjadi dan karenanya berjuang untuk mendapatkan informasi dari lapangan pada hari berikutnya karena kontak lokal kami semua terkena dampak.
Kami mengirimkan Surya Aslim -staf senior Islamic Relief Indonesia ke Banda Aceh untuk mempelajari situasi sehari setelah bencana. Segera terlihat jelas bahwa dengan skala bencana yang demikian dahsyat sejumlah besar dukungan dibutuhkan.
Pada minggu pertama setelah bencana, Islamic Relief menyediakan makanan, air minum, dan barang-barang penting lainnya untuk para penyintas. Tak lama kemudian, kami mendistribusikan lebih dari 30.000 liter air minum per hari kepada para pengungsi.
Pada saat yang sama, lebih banyak staf dari kantor pusat Indonesia dan Inggris tiba untuk mendukung upaya tanggap darurat ini. Kami berangkat dari nol, mulai dari pembukaan kantor, rekening bank, dan rekrutmen staf agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan para penyintas yang sangat besar.
Jika Anda menerima pekerjaan ini, Anda harus berangkat ke Aceh besok. Apakah Anda siap atau tidak?
“Hampir semua orang di Aceh terkena dampaknya, jadi kami harus merekrut orang-orang dari seluruh Indonesia, memastikan mereka memiliki keterampilan yang kami butuhkan dan siap untuk pergi ke zona bencana.
“Pertanyaan terakhir dari setiap wawancara adalah: ‘Jika Anda menerima pekerjaan ini hari ini, besok pagi Anda harus berangkat ke Aceh. Apakah Anda siap atau tidak?”.
“Jika mereka menjawab siap, mereka dikirim, lalu kami akan mengecek 2 minggu kemudian. Jika mereka sanggup, mereka bisa tinggal. Jika tidak, mereka harus pulang.”
Ede Surya Darmawan, Ketua Dewan Pembina Yayasan Relief Islamic Indonesia.
Tantangan logistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terkena dampak sangat besar – Di mana kira-kira Anda akan menemukan persediaan barang ketika gudang-gudang telah hancur?
Bagaimana Anda menjangkau masyarakat terpencil ketika jembatan-jembatan hanyut dan jalan-jalan terendam lumpur? Ini semua adalah masalah yang harus diselesaikan dengan cepat.
Islamic Relief bekerja sama dengan militer dalam mendistribusikan tenda atau terpal kepada para penyintas, dan dengan NGO lainnya untuk terus menyediakan air bersih bagi para pengungsi.
Ini adalah pertama kalinya kami merespons tsunami dan tidak ada seorang pun di Islamic Relief yang pernah melihat bencana dalam skala seperti itu sebelumnya.
Semua orang takut setiap gempa akan menyebabkan tsunami susulan
“Bencana ini tidak seperti yang pernah saya alami sebelumnya. Saya pernah terlibat dalam merespons beberapa krisis, tetapi tidak ada yang sedahsyat ini.
“Saya mungkin tidak mengantisipasi seperti apa jadinya karena saya tidak memiliki konsep tentang apa yang bisa dilakukan dalam situasi tsunami.
“Sangat traumatis, dan saya pikir itu tetap traumatis untuk beberapa waktu karena kami terus-menerus mengalami gempa susulan di daerah itu, dan semua orang takut bahwa setiap getaran dapat menyebabkan tsunami lagi. Kami terus menerus merasa was-was selama beberapa minggu karena gempa susulan.”
Haroon Kash adalah Kepala Pendanaan Program dan Kemitraan di Islamic Relief. Ia menghabiskan waktu selama 5 minggu di awal tahun 2005 untuk merespon bencana di Aceh.
Terisolasi sekian lama sebelum bencana Tsunami terjadi, Aceh tiba-tiba dibanjiri oleh para dokter, perawat, relawan kemanusiaan dan sukarelawan dari seluruh dunia, yang bekerja bahu membahu untuk memberikan bantuan terbaik bagi masyarakat Aceh yang sangat membutuhkan.
Upaya besar untuk menjangkau daerah-daerah yang terkena dampak tsunami ini juga sangat intensif, dengan banyaknya kolega dari Amerika, Italy, Jerman, dan lainnya yang kemudian bersatu bergabung di bawah panji Islamic Relief Indonesia sehingga jangkauan wilayah dapat mencapai Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Pidie.
Selain merespon bencana di Aceh, Islamic Relief juga memulai misi kemanusiaan di Sri Lanka untuk pertama kalinya setelah bencana terjadi. Setelah Indonesia, Sri Lanka menjadi negara kedua yang paling terdampak, dengan sekitar 35.000 jiwa kehilangan nyawa mereka.
Gelombang tsunami menghantam pantai tenggara Sri Lanka satu setengah jam setelah menghancurkan Aceh, meluluhlantakkan puluhan ribu rumah kayu dan perahu—sumber penghidupan utama bagi komunitas nelayan.
Seperti di Aceh, hanya sedikit orang di Sri Lanka yang mengetahui tentang tsunami. Meskipun gempa bumi dirasakan di sana, kebanyakan penduduk lokal dan wisatawan tidak menyadari bahaya besar yang akan datang setelah gempa.
Mirip dengan Aceh, Sri Lanka juga sedang dilanda konflik ketika bencana itu terjadi. Perang saudara yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun membuat negara ini semakin tidak siap menghadapi bencana berskala besar seperti tsunami.
Islamic Relief tiba di Sri Lanka tak lama setelah bencana, mendistribusikan makanan dan tenda bagi para penyintas yang kehilangan tempat tinggal.
Kami menyumbangkan bus untuk membantu pemerintah mengangkut korban ke tempat penampungan, serta mendukung sektor kesehatan lokal yang telah hancur dengan menyediakan ambulans, klinik kesehatan keliling, serta pasokan medis dan kebersihan.
Kampanye dan penanganan kesehatan kami jalankan dan menjangkau 3.500 anak untuk membantu mencegah penyebaran penyakit akibat kondisi padat di kamp-kamp pengungsian.
Seiring waktu, kami membangun rumah dan sekolah baru di Ampara, wilayah yang paling parah terkena dampak di Sri Lanka, serta meluncurkan program cash for work untuk memberikan pendapatan bagi para penyintas sambi membersihkan wilayah atau pemukiman mereka.
Berikutnya, kami juga mendukung anak-anak dengan memperkenalkan Program Sponsorship Anak Yatim, yang memberikan bantuan rutin untuk merawat anak-anak yatim dan yatim piatu. Selain itu, kami memberdayakan panti asuhan dan sekolah berasrama melalui program pemberdayaan pertanian agar mereka menghasilkan pendapatan.
Meski tsunami menghancurkan tanah dan merenggut banyak nyawa, para penyintas saling membantu dan menolong satu sama lain. Sejak Islamic Relief mendirikan kantor di Srilangka, kerja kemanusiaan kami terus berjalan untuk mendukung semua komunitas yang membutuhkan.
Di kantor pusat Islamic Relief di Birmingham, Inggris, staf kami bekerja tanpa kenal lelah untuk memproses jumlah donasi yang terus masuk dan mencapai jumlah yang sedemikian banyaknya sebagai respons Masyarakat Inggris terhadap kampanye penggalangan dana yang kami jalankan yang mencapai USD $19 juta—sebuah kampanye terbesar dalam sejarah Islamic Relief pada saat itu.
Pada masa itu, banyak donasi diberikan dalam bentuk cek, sehingga kantor penggalangan dana kami di Islamic Relief UK dipenuhi dengan amplop-amplop donasi. Jika dalam minggu biasa kami menerima sekitar 80 cek, selama kampanye tsunami, kami menerima lebih dari 1.000 cek, sehingga para manajer dan direktur kami turut membuka amplop untuk memastikan dana bisa segera disalurkan ke tim kami di lapangan.
Merayakan EID Tidak Seperti Biasanya
Kurang dari sebulan setelah tsunami, para penyintas berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, untuk merayakan Idul Adha. Di tengah kesedihan yang mendalam, suasana penuh keheningan, namun kehidupan perlahan mulai tampak kembali di kota itu. Masjid ini menjadi simbol harapan bagi banyak penyintas.
Masjid Raya Baiturrahman, bersama beberapa masjid lainnya di Aceh, sebagian besar selamat dari bencana dan menjadi ruang yang semakin penting bagi komunitas setempat. Masjid ini menjadi tempat perlindungan para penyintas, ruang kelas darurat, dan dindingnya dipenuhi poster-poster orang hilang yang dipasang oleh mereka yang masih dengan putus asa mencari orang tercinta.
Semua rumah hancur, tapi masjid tetap berdiri
“Semua penyintas keluar dari barak tempat kami tinggal untuk pergi ke masjid desa kami dan melaksanakan salat Idul Adha bersama. Karena bencana ini, beberapa orang takut meninggalkan rumah, tapi saat itu semua orang datang.
“Masjid kami, alhamdulillah, selamat. Hanya sedikit kerusakan di salah satu sudut, dan masjid-masjid lain juga masih bisa digunakan. Ini sungguh sebuah keajaiban jika dipikirkan, semua rumah hancur, tapi masjid—bahkan masjid kami yang dekat laut—tetap berdiri.
Nazarudin, penyintas tsunami dan imam Desa Kaju Indah, Aceh
Staf Islamic Relief turut menjadi bagian dari jamaah di Masjid Raya Baiturrahman pada Idul Adha itu, menikmati momen-momen berharga di tengah tanggung jawab besar yang masih jauh dari selesai.
Ketika minggu-minggu berganti menjadi bulan, respons Islamic Relief di Aceh berkembang, dari memenuhi kebutuhan dasar para penyintas, hingga memberdayakan komunitas yang terdampak untuk mulai membangun kembali kehidupan mereka.
Upaya pembersihan wilayah yang lebih luas pun dimulai, dengan gajah-gajah didatangkan untuk membantu membuka jalan yang terlalu sulit untuk dilalui alat berat. Islamic Relief berpartisipasi dengan menjalankan program padat karya (cash-for-work) pada saat itu.
Kegiatan ini tidak hanya bertujuan untuk membersihkan lahan agar rumah baru bisa dibangun, tetapi juga memberikan penghasilan bagi mereka yang kehilangan mata pencaharian serta mendukung kesejahteraan mental mereka melalui aktivitas kerja.
Pada April 2005, kami telah membersihkan lahan dan mengidentifikasi lokasi yang sesuai untuk mulai membangun lebih dari 1.000 rumah baru bagi penyintas, yang masih dihuni hingga saat ini. Kami juga bekerja memperbaiki sekolah-sekolah yang rusak, membangun puskesmas, memberikan pelatihan kesehatan dan kebersihan untuk mencegah wabah penyakit, membangun pasar, dermaga, serta membangun fasilitas air bersih dan sanitasi.
Kami mendukung para nelayan untuk kembali bekerja dengan menyediakan perahu dan peralatan. Kami juga membangun dermaga dan pasar pelelangan ikan. Para pemilik usaha kecil juga diberdayakan melalui penggantian stok dan alat yang hilang akibat bencana.
Islamic Relief juga mengadakan pelatihan kejuruan di bidang pertukangan dan keterampilan listrik untuk membantu masyarakat kembali bekerja dan mempercepat pemulihan komunitas.
Mengatasi Luka Fisik dan Mental
Puluhan ribu anak kehilangan orang tua mereka dalam bencana ini, dengan sekitar 30.000 anak menjadi yatim atau yatim piatu akibat terjagan tsunami, sebagian besar ada di Aceh.
Pada Maret 2005, Islamic Relief mulai mendaftarkan anak-anak ke dalam Program Sponsorship Anak Yatim, memberikan dukungan jangka panjang yang sangat dibutuhkan bagi anak-anak yatim dan keluarga mereka. Setiap bulan, keluarga penerima mendapatkan tunjangan untuk membantu biaya sekolah dan perawatan kesehatan. Petugas lapangan kami secara rutin mengunjungi anak-anak ini, memantau kesejahteraan mereka, dan mendukung kebutuhan keluarga.
Keluarga-keluarga yang terdaftar juga mendapat manfaat dari program lain Islamic Relief, seperti distribusi makanan Ramadan dan qurbani.
Hingga akhir 2024, sudah lebih dari 2,000 anak yatim di Indonesia, termasuk di Aceh, yang memperoleh manfaat dari program Orphan Sponsorship ini, 1.711 anak yatim diantaranya masih bersekolah dan terdaftar sebagai penerima aktif program ini. Sementara program serupa masih memberikan manfaat bagi 1.182 anak yatim di Sri Lanka.
Anak-anak yang menjadi yatim atau yatim piatu akibat tsunami kini telah tumbuh dewasa. Mereka yang telah mendapatkan sponsorship dari Islamic Relief kini telah mampu melanjutkan pendidikannya hingga perguruan tinggi, menjadi guru, pegawai administrasi, hingga pemilik usaha kecil.
Nur, yang kehilangan orang tuanya pada usia 10 tahun, menyelesaikan pendidikannya dan kini membuka bengkel jahit bersama temannya.
“Alhamdulillah, dukungan dari Islamic Relief sangat bermanfaat bagi saya sehingga saya bisa menyelesaikan gelar saya.”
“Saya bangga. Meski kami tidak bisa meminta bantuan orang tua, sekarang kami bisa mandiri dengan usaha ini.”
Rahmad, yang kehilangan kedua orang tua dan kakak laki-lakinya di usia 9 tahun, dapat kembali bersekolah berkat dukungan Islamic Relief dan pamannya.
Kini, ia bekerja sebagai guru pendidikan jasmani dengan status sebagai pegawai negeri, memastikan pekerjaannya aman seumur hidup.
Cerita lainnya, pada usia 6 tahun, hidup Muhajir berubah drastis ketika bencana itu merenggut ibunya dan salah satu saudara laki-lakinya.
Ayahnya telah lama meninggal dunia. Muhajir merupakan anak pertama yang menjadi penerima program Orphan Sponsorship dari Islamic Relief dengan nomor registrasi 00001. Dukungan dari Islamic Relief memungkinkannya melanjutkan studi, dan pada tahun 2024, ia menyelesaikan gelar master dalam ilmu pengolahan data di University of Birmingham, Inggris.
Pada September 2024, Muhajir berkunjung ke kantor pusat Islamic Relief di Birmingham untuk berbagi pengalaman tentang bencana tsunami dan masa tumbuh kembangnya dengan Program Sponsorship Anak Yatim di Aceh.
Presentasi Muhajir menjadi momen yang mengharukan bagi staf Islamic Relief, sekaligus kesempatan untuk melihat langsung dampak luar biasa dari kemurahan hati para donatur Islamic Relief.
Pelayanan Kesehatan di Tengah Pemulihan Pasca-Bencana
Puskesmas Lampisang adalah pusat layanan kesehatan yang terletak di pinggiran Banda Aceh. Dengan 72 staf—kebanyakan perempuan—puskesmas ini tidak hanya melayani pasien di fasilitas mereka, tetapi juga mengunjungi desa-desa sekitar untuk memberikan perawatan langsung di rumah warga.
Dibangun oleh Islamic Relief pada tahun 2006, puskesmas ini menyediakan berbagai layanan, mulai dari pelayanan Kesehatan dasar, vaksinasi dan perawatan gigi hingga pelayanan khusus untuk anak-anak dan lansia. Salah satu fokus utama mereka adalah menangani stunting, atau pertumbuhan terhambat, yang angkanya relatif tinggi di Aceh.
Marlina mulai bekerja di Puskesmas Lampisang sejak 2008 dan menjadi direktur pada 2022. Saat tsunami melanda, ia berada di Jakarta bersama orang tuanya, merayakan kelulusan kuliahnya.
Ketika mendengar tentang bencana tersebut, Marlina segera mencoba menghubungi keluarga di Aceh, tetapi butuh seminggu sebelum ia mendapatkan kabar bahwa seluruh keluarga besarnya telah meninggal dunia. Seperti banyak penyintas lainnya, Marlina tidak pernah menemukan jasad orang-orang tercintanya.
Saat kembali ke Aceh, dengan puskesmas setempat yang hancur, Marlina bekerja sebagai bidan desa. Ia membawa kotak obatnya dari tenda ke tenda untuk merawat ibu hamil, memvaksinasi anak-anak, serta mengobati penyakit-penyakit seperti diare, demam, dan gatal-gatal yang banyak diderita penyintas.
Menurut Marlina, masalah kesehatan utama saat itu bukan hanya fisik, tetapi juga mental. “Masyarakat sangat tertekan. Mereka merasa seperti baru saja mengalami kiamat. Mereka bahkan berhenti peduli pada kesehatan dan penampilan mereka sendiri,” kenangnya.
Banyak tenaga kesehatan lokal yang juga mengalami trauma, tetapi mereka harus menyingkirkan perasaan mereka demi mendukung komunitas. Organisasi kemanusiaan termasuk NGO internasional (INGO) memberikan pelatihan kepada para tenaga kesehatan untuk menangani berbagai kondisi seperti masalah Kesehatan akibat tenggelam, luka, dan asma. Konseling intensif yang disertai sesi bermain juga diberikan untuk mendukung pemulihan mental anak-anak.
Pembangunan Puskesmas Lampisang oleh Islamic Relief menjadi titik balik. Marlina menyebut fasilitas ini sebagai langkah besar untuk memulihkan kesehatan fisik dan mental masyarakat, terutama ketika orang-orang mulai pindah dari tenda pengungsian ke rumah-rumah sementara, dan akhirnya rumah permanen.
“Dulu, kami melayani masyarakat dengan sandal jepit. Kini, kami punya tempat yang layak untuk membantu mereka,” Marlina mengenang.
Puskesmas Lampisang hanyalah satu dari 27 pusat kesehatan yang dibangun Islamic Relief di Aceh, selain 1 rumah sakit dan pelatihan lebih dari 300 tenaga kesehatan. Bersama sekolah-sekolah dan dukungan lainnya, fasilitas ini adalah simbol ketangguhan dan pemulihan Aceh pasca-tsunami.
Sekolah Untuk Masa Depan
Setelah tsunami, anak-anak tidak hanya membutuhkan perlengkapan sekolah baru, tetapi juga tempat belajar.
Dalam minggu-minggu pertama setelah bencana, sekolah darurat bermunculan di masjid-masjid dan tenda. Dengan begitu banyak anak yang meninggal dunia, ukuran kelas berkurang drastis. Guru harus menyusun metode pengajaran baru untuk kelas yang terdiri dari berbagai tingkatan pendidikan.
"Dari 300 siswa kami, hanya 18 yang tersisa."
Meski menghadapi trauma mereka sendiri, para guru berusaha membangkitkan semangat belajar anak-anak, menyadari pentingnya generasi ini untuk masa depan Aceh. Perlahan, semangat belajar mulai kembali.
Untuk mendukung proses ini, Islamic Relief memperbaiki beberapa gedung sekolah yang rusak dan membangun 23 sekolah baru. Kami juga menyediakan buku, perabotan, dan peralatan ke 30 sekolah dan tempat penitipan anak. Selain itu, pelatihan bagi guru tentang cara menghadapi bencana di masa depan juga diberikan.
Dua dekade kemudian, suara tawa, jeritan, dan keceriaan anak-anak masih memenuhi koridor sekolah dasar yang dibangun Islamic Relief.
Meskipun tidak ada satu pun dari 300 siswa yang sedang bersekolah saat ini dapat menceritakan kejadian tsunami Aceh saat itu, mereka telah belajar tentang bencana itu di kelas. Berkat simulasi dan protokol evakuasi rutin, anak-anak ini kini percaya diri dalam menghadapi situasi darurat.
Orang tua kini dapat merasa lebih tenang karena jika bencana terjadi selama jam sekolah, staf akan memandu anak-anak mereka ke titik kumpul yang telah ditentukan. Di sana, keluarga dapat menemukan mereka dengan aman.
Semua langkah ini merupakan hasil langsung dari pelajaran yang dipetik dari bencana tsunami 2004 dan sangat penting, terutama karena 73% sekolah di Indonesia berada di daerah rawan bencana.
Selama kami masih hidup, kami harus melakukan yang terbaik untuk siswa kami
Setelah bencana, kegiatan belajar-mengajar dilanjutkan di sekolah sementara, berupa ruangan 3×4 meter. Para guru mencatat siswa yang selamat dari tsunami—hanya sedikit yang tersisa. Dalam ruangan kecil itu, anak-anak dari berbagai tingkatan belajar bersama.
Marwan, kepala sekolah MIN 31, berusaha keras memastikan anak-anak tetap bersekolah meskipun kondisi sulit. “Saya jemput mereka ke rumah, ke barak-barak pengungsian, dan bertanya, ‘Kenapa tidak mau sekolah?’”
Ketika gedung sekolah baru dibangun kembali oleh Islamic Relief, tantangan berikutnya adalah memastikan kehadiran siswa, terutama karena banyak dari mereka tinggal di daerah pegunungan. Marwan bahkan membeli sebuah truk pick-up secara kredit untuk mengangkut siswa setiap pagi. “Apa gunanya ada guru kalau tidak ada murid?”
Marwan, yang telah mengabdi sebagai guru selama 25 tahun, merasa bahwa meskipun kondisi mereka tidak sempurna, tanggung jawab untuk terus berkontribusi tetap menjadi prioritas. “Selama kami masih hidup dan sehat, kami harus melakukan yang terbaik untuk orang lain, terutama untuk siswa kami.”
MIN 31 adalah salah satu sekolah yang dibangun kembali oleh Islamic Relief setelah tsunami. Bangunan baru ini tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga simbol harapan dan ketangguhan komunitas yang terus berusaha bangkit dari keterpurukan.
Marwan, Kepala Sekolah MIN 31, Aceh
Guru Juga Kehilangan Keluarga, Tapi Kami Tahu Kami Harus Melindungi dan Memotivasi Siswa Kami
“Setelah tsunami, saya dan beberapa guru lainnya pergi ke sekolah. Tapi yang tersisa hanya fondasi bangunan. Kami mengumpulkan lebih banyak guru dan kepala sekolah, lalu pergi ke barak pengungsian untuk mengumumkan bahwa kegiatan belajar-mengajar akan dilanjutkan di Masjid Raya.
Saat itu, kami sangat sedih karena dari 300 siswa, hanya 18 yang tersisa. Kami menggabungkan sekolah kami dengan tiga sekolah lain, sambil terus mencari informasi tentang siswa yang hilang.
Peran guru pada masa itu sungguh luar biasa. Para guru juga menjadi korban tsunami; banyak dari mereka kehilangan keluarga. Namun, sebagai guru, kami tahu bahwa tugas kami adalah melindungi dan mengajar siswa-siswa kami. Meskipun saat itu kegiatan belajar-mengajar belum bisa dilakukan secara serius, kami berfokus pada memotivasi siswa agar tetap semangat.
Ada siswa yang terhanyut oleh air tsunami tetapi selamat. Saya mencoba memotivasi mereka. Semua guru melakukan hal yang sama.”
Subhan telah mengabdi sebagai guru selama 21 tahun. Tsunami menghancurkan sekolah tempatnya mengajar, MTsN 3, yang kemudian dibangun kembali oleh Islamic Relief. Kini, sekolah itu menjadi simbol harapan dan dedikasi dari para guru yang terus berjuang untuk pendidikan, meskipun mereka sendiri harus melalui masa-masa sulit.
Subhan, Guru Bahasa Inggris di Aceh
Ketika bencana benar-benar menghancurkan Aceh dan masyarakatnya, banyak penyintas mengakui bahwa ada hikmah di balik tragedi tersebut.
Pada Januari 2005, pembicaraan damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai. Nota kesepahaman yang ditandatangani pada Agustus tahun itu secara efektif mengakhiri konflik yang telah berlangsung sejak 1976 yang telah menelan korban jiwa antara 10.000 hingga 30.000 orang.
Aceh yang masih terpuruk akibat dahsyatnya bencana mulai merasakan secercah harapan baru yang menyebar di seluruh provinsi.
Tsunami juga membawa perdamaian bagi kami. Sehingga kami bisa pulih, bukan hanya dari tsunami, tetapi juga dari konflik selama lebih dari 30 tahun."
Pada tahun 2007, Indonesia memperkenalkan Undang-Undang Penanggulangan Bencana, yang menetapkan proses baru dalam persiapan dan tanggapan terhadap bencana, sekaligus membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mengoordinasikan pengurangan risiko bencana dan upaya tanggap darurat.
Di negara seperti Indonesia, yang terletak di Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) dan rentan terhadap berbagai bencana alam serta cuaca ekstrem, undang-undang ini menjadi terobosan yang mengubah penanganan darurat dari reaktif menjadi lebih proaktif. Pelajaran dari tsunami 2004 sangat memengaruhi profesionalisasi dan standarisasi tanggap bencana di Indonesia.
Kekuatan Pengetahuan Lokal
Upaya memastikan pelajaran dari bencana diteruskan ke setiap generasi baru sebagian terinspirasi oleh kisah luar biasa dari Simeulue.
Meskipun berada lebih dekat ke pusat gempa dibandingkan Banda Aceh, hanya 7 dari lebih dari 70.000 penduduk pulau ini yang kehilangan nyawa akibat bencana.
Hal ini dikaitkan dengan pengetahuan lokal yang dikenal sebagai smong, yang menjadi semacam sistem peringatan dini di Simeulue setelah gempa bumi.
Pada tahun 1907, Simeulue pernah dihancurkan oleh tsunami besar. Para penyintas menceritakan kisah tersebut kepada keturunan mereka, sebuah tradisi yang terus berlangsung hingga hari ini.
Cerita itu mengajarkan pendengarnya untuk segera mengungsi ke tempat yang lebih tinggi jika melihat air laut surut setelah gempa bumi.
Pada Desember 2004, pengetahuan ini benar-benar menjadi pembeda antara hidup dan mati bagi warga Simeulue.
Melihat besarnya bencana ini, kami berpikir Aceh akan membutuhkan waktu lama untuk bangkit. Namun, melebihi semua ekspektasi, Aceh bangkit dengan cepat. Yang membuat Aceh bangkit dari kondisi yang begitu menyakitkan dan gelap adalah karena semangat rakyat Aceh untuk berubah dan mencari kehidupan yang lebih baik… karena dunia membantu Aceh, kami tidak merasa sendirian."
Selain berkoordinasi dengan LSM internasional, organisasi di Indonesia mulai fokus membangun kapasitas mereka sendiri untuk merespons bencana, memanfaatkan pengetahuan dan keahlian lokal untuk melayani komunitas yang terdampak.
Bencana tersebut membentuk cara Aceh dibangun kembali, mulai dari bangunan yang lebih tahan bencana hingga jalanan kota yang lebih lebar, yang dirancang untuk mempermudah evakuasi. Dua dekade kemudian, Banda Aceh adalah kota yang berkembang pesat dan tidak lagi menyerupai kehancuran yang mungkin masih membekas dalam ingatan dunia.
Tanda-tanda tsunami yang tersisa—seperti kapal yang terdampar di atap rumah dan generator lepas pantai seberat 2.600 ton yang terseret ke daratan oleh gelombang—kini menjadi objek wisata.
Sementara itu, Museum Tsunami Aceh yang megah menjadi saksi bisu kisah tragis hari mengerikan itu pada Desember 2004. Museum ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat edukasi dan peringatan, tetapi juga sebagai pusat evakuasi untuk keadaan darurat di masa depan.
Kita harus terus mengingat, bukan untuk membuka luka lama, tetapi untuk menyelamatkan kita di masa depan.
Komunitas yang Lebih Siap Menghadapi Bencana
“Memang benar kita masih belum memiliki cara untuk mendeteksi bencana seperti gempa bumi dan tsunami, tetapi jika bencana serupa terjadi sekarang, insya Allah, masyarakat akan jauh lebih siap.”
“Mereka tahu apa yang harus dilakukan saat gempa terjadi, dan tahu potensi gempa yang akan menyebabkan tsunami. Mereka tahu bahwa mereka harus segera mengungsi dari kawasan pesisir. Mereka juga sudah mengenal jalur-jalur evakuasi.”
Wahyudi Sudiro, Staff Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Islamic Relief Indonesia
Warisan 20 Tahun
Islamic Relief terus bekerja di komunitas rentan di Indonesia dan Sri Lanka hingga hari ini. Di Aceh, Islamic Relief mendukung Masyarakat setempat melalui berbagai program seperti program Pembangunan rumah layak huni, program sponsor anak yatim, program peningkatan mata pencaharian, dan program dukungan bagi kelompok penyandang disabilitas.
Peninggalan program Islamic Relief pada masa tanggap tsunami terlihat di sekolah-sekolah dan pusat kesehatan yang kami bangun, yang hingga kini masih digunakan oleh Masyarakat. Rumah-rumah yang kami bangun telah menjadi tempat berlindung yang aman bagi lebih dari 1.000 keluarga selama 20 tahun terakhir.
Di Banda Aceh, dinding di sekitar salah satu kuburan massal korban tsunami yang dibangun Islamic Relief kini menjadi bagian dari taman kota yang indah, menjadi tempat peristirahatan terakhir lebih dari 14.000 korban.
Islamic Relief telah memberikan manfaat yang sangat besar kepada kelompok lemah dan miskin di Aceh dan sekitarnya
“Saya sudah mengenal Islamic Relief sejak minggu kedua setelah tsunami. Apa yang mereka lakukan di dalam dan luar Aceh sangat bermanfaat bagi masyarakat miskin dan lemah.”
“Saya berharap Islamic Relief terus memberikan yang terbaik untuk membantu siapa pun yang membutuhkan.”
Azwir, penyintas tsunami dan Ketua Baitul Mal Aceh Kab Aceh Besar
Ready to Answer the Call!
“Islamic Relief tetap berdiri bersama masyarakat yang membutuhkan, merespons panggilan kemanusiaan kapan pun dan di mana pun diperlukan”
Nanang Subana Dirja adalah CEO Islamic Relief Indonesia